NALAR BRILLIANT

Bagaimana alam bekerja tidak sia-sia: Darimana datangnya semua tata-tertib dan keindahan yang kita lihat di dunia? Tidakkah tampak dari gejala-gejala tersebut bahwa ada suatu Diri yang tak tampak, tapi hidup cerdas hadir di segala tempat, yang bersifat tak terbatas dalam ruang (isaac newton)

Foto Saya
Nama:
Lokasi: jakarta, jakarta, Indonesia

Mengenal diri adalah salah satu jalan mengenal TUHAN, jika ANDA mengenal saya, pasti TUHAN juga mengenal ANDA

Rabu, 30 Januari 2008

Pak Harto, Muharram, dan Hijrah

Sebelumnya, saya mengucapkan turut berbela sungkawa yang sedalam-dalamnya seraya memanjatkan do'a atas meninggalnya Pak Harto, Minggu 27 Januari 2008, meskipun mungkin masih banyak kontroversi seputar perjalanan hidup beliau, baik sebagai pribadi, seorang bapak, seorang suami, seorang presiden, seorang tentara, atau dalam kapasitas apapun yang (kebetulan) menempel dalam diri beliau. saya tidak ingin masuk pusaran konflik -bukan berarti tidak mengerti- seputar sepak terjang beliau ketikam wafat, tetapi saya ingin mencoba sedikit arif dalam memaknai seseorang, apalagi yang bersifat pribadi, sebab "dalamnya lautan dapat diselami tetapi dalamnya hati siapa yang dapat menjangkauinya?".
Saya kurang suka dengan "empat mata"-nya Cak 'Sufi-Filosof' Tukul Arwana, tetapi saya sangat belajar tentang filsafat hidupnya yang sangat sofistacated yang menekankan orang untuk selalu "positive thinking" menyikapi segala sesuatu -memang rasanya sangat bertolak belakang dengan paradigma yang dibangun di dunia 'intelejen'- tetapi dengan berfikir positif dalam segala hal akan membuat orang jauh dari berburuk sangka, iri-dengki, hasut, dan penyakit-penyakit hati lainnya yang sangat 'mengerikan' dalam menjerumuskan manusia ke dalam dosa-dosa (lih. ihya' ulumuddin karya monumental Al-Ghazali).
Maka, saya memilih memaknai Pak Harto secara positif-positif aja. maksudku, beruntunglah Pak Harto yang meninggal pas tanggal 18 Muharram, orang jawa bilang 'wulan syuro', sebab itulah bulan dimana Nabi saw. menorehkan sejarah enlightment, tonggak kebangkitan kesadaran manusia suci untuk melakukan hijrah secara total (politik, sosial, dan spiritual) untuk membangunkan 'tidur'nya kesadaran umat manusia di seluruh penjuru alam semesta ini.
Mungkin Allah swt memanggil Pak Harto di bulan ini untuk 'membangunkan' kesadaran Bangsa Indonesia agar segera hijrah kepada 'keadilan', 'kebenaran', 'persamaan dihadapan hukum', dsb.
Bangsa Indonesia (terutama 'pemangku amanah kepemimpinan', bukan 'pemerintah', sebab kecenderungannya 'memerintah' bukan 'melayani') harus sadara bahwa totaliarianisme itu tidak baik, bahwa sebagai seorang pemimpin harus mendahulukan kepentingan rakyat banyak dan mengakhhirkan kepentingan keluarga, pemerataan ekonomi bukan monopoli. Sadar dan bangkit untuk memberantas korupsi, korupsi hati, korupsi jiwa, korupsi spiritual, korupsi material, korupsi kesadaran. Sebab jika hati kita sudah membeku, kebenaran tidak akan mungkin menyelinap masuk ke dalam sanubari kita yang terdalam, yang suci, rasa kemanusiaan akan menjelma menjadi binatang buas yang siap menerkan sesama.
Saatnya kita belajar dari 'masa lalu' di sana, bukan meninggalkannya begitu saja atau apalagi mengidealisasikannya di 'masa sekarang' di sini, seperti HTI yang mengidealkan 'Khilafah' sebagai sistem negara yang adiluhung di ruang khayalnya.
Mungkin sekian dulu, commeny-nya dong...suwun-suwun

Jumat, 18 Januari 2008

Resolusi 1 Muharram 1429 H

Tanggal 1 Muharram diperingati umat Islam sebagai Tahun Baru. Tapi 1 Muharram tidak hanya sebagai pergantian tahun, melainkan menjadi pertanda atas peristiwa besar yang paling menentukan arah sejarah peradaban Islam: hijrahnya Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa hijrah memiliki makna yang signifikan bagi umat Islam.

Peristiwa itu sarat dengan pertanda bagi lahirnya etos untuk membumikan pesan-pesan spiritualitas menuju pembebasan kemanusiaan. Karenanya ketika Nabi Muhammad tidak mendapatkan lahan subur pada periode dakwahnya di Mekkah, ia membutuhkan ranah baru yang cukup subur untuk menyebar benih-benih pembebasan itu. Dengan demikian hijrah di dalam Islam dianggap sebagai simbol dari kelangsungan persemaian cita-cita profetik untuk mewujudkan pengakuan atas harkat kemanusiaan.

Hijrah memiliki makna spiritual dan misi kemanusiaan sekaligus. Keduanya sering disebutkan dalam al-Qur'an secara beriringan. Secara sederhana makna spiritual dan misi kemanusiaannya adalah upaya untuk membangun peradaban yang lebih luhur demi membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Dalam konteks itulah Nabi Luth, Ibrahim, Musa dan lain sebagainya melakukan hijrah. Dengan demikian, hijrah mestinya dimaknai sebagai pertanda kebangkitan moralitas-spiritual umat manusia.

Meminjam istilah Muhammad Iqbal, hijrah dalam pengertian sesungguhnya dapat dianggap sebagai suatu proses pembebasan untuk mengekspresikan universalitas Islam dari dominasi yang mungkin akan memasung lahirnya kreativitas peradaban Islam. Dalam pengertian itu hijrah tidak melulu berkonotasi migrasi fisik. Pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah upaya untuk mewujudkan komunitas etis-spiritual yang mengandung visi pembebasan dan ketundukan atas nilai-nilai etis-spiritual. Hijrah, dengan begitu dimaknai sebagai jalan keluar dari kondisi ketidakadilan sosial untuk pergi menuju "tanah yang dijanjikan", tanah yang subur untuk menyemai benih-benih kemanusiaan dan keadilan.

Tanah yang dijanjikan dalam hijrah, secara normatif, tidak melulu merujuk pada sebuah tempat tertentu. Tapi sebuah kondisi di mana umat Islam mampu menemukan makna otonominya sebagai makhluk Tuhan yang merdeka dan mampu keluar dari cengkeraman otoriterianisme. Dalam pengertian itu hijrah mengandung pengertian yang sangat utopis, namun justru memberikan kelonggaran bagi umat Islam untuk terus memberikan makna baru dalam setiap ruang-waktu yang didiaminya.

Dalam bentuk yang paling sederhana, hijrah dapat direalisasikan ke dalam bentuk aktivitas konkret pembebasan diri dan umat dari kondisi yang sarat dengan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan yang dapat menjadi ancaman serius terhadap kelangsungan kemanusiaan. Proyek itu dapat diagendakan dalam berbagai kegiatan yang muaranya adalah pembebasan dari segala bentuk yang akan memasung kebebasan dan menciptakan kenestapaan manusia.

Selain itu juga dibutuhkan rekayasa sosial yang sistematis diserta kerja sama dari berbagai kelompok sosial yang terintegrasi secara baik. Selain itu, dalam beberapa ayat al-Qur'an kata hijrah disebutkan secara berbarengan dengan jihad. Ini disebutkan antara lain dalam al-Baqarah (2): 218 dan al-Tawbah (9): 20. Kedekatan makna hijrah dan jihad yang disebutkan dalam kedua ayat tersebut adalah dalam hijrah dibutuhkan sebuah tekad baja dan kesungguhan hati untuk keluar dari kondisi yang tidak bebas. Tekad baja dan kesungguhan hati secara normatif dimaknai sebagai bentuk jihad. Jadi, dalam pengertian ini, tidak ada peristiwa hijrah tanpa jihad.

Selain itu, di antara makna hijrah dan jihad terkandung semangat pengorbanan-harta, kalau perlu dengan nyawa- untuk pembangunan sebuah cita-cita luhur pembebasan manusia. Hal ini tercermin dalam perjalanan hijrah Nabi beserta sahabatnya, yang rela meninggalkan keluarga, kelompok, dan kekayaan untuk bergabung dengan komunitas yang lebih memberikan jaminan akan kelangsungan kebebasan kemanusiaan. Dengan demikian, gerakan pembebasan tersebut mestinya sepi dari pamrih yang bersifat keduniaan (ikhlas): hanya mengharap ridla Tuhan.

Jika merujuk pada peristiwa hijrah Nabi-dari Mekkah ke Madinah-tidaklah berlebihan jika ada statemen yang menyebutkan bahwa peristiwa tersebut mengandung konotasi politis. Hal ini setidaknya dapat digambarkan bahwa hijrah juga dapat dikonotasikan sebagai pencarian suaka ke suatu wilayah yang dapat menjanjikan keselamatan kini atau pun di masa yang akan datang. Para sufi lebih memaknai hijrah sebagai proses perpindahan batin dari gelap menuju terang, dari jalan eksoterisme menuju esoterisme. Dan, bagi para sufi, ranah itu sesungguhnya berada di hati. Singkatnya hijrah adalah jalan panjang untuk meniti pintu-pintu menuju Tuhan.

Bagi bangsa Indonesia, kiranya makna hijrah selalu relevan untuk dikontekstualisasikan, terutama dalam menghadapi kondisi keterpurukan. Pengalaman hijrah Muhammad mengajarkan betapa diperlukan kerelaan hati, keteguhan jiwa, kesabaran untuk menderita, dan konsistensi atas nilai-nilai luhur yang dipercayai dapat membawa bangsa ini ke gerbang masa depan yang lebih baik.

Untuk mengatasi keterpurukan itu, daripada melulu menyalahkan alam yang mulai tidak bersahabat, atau menyalahkan kelompok tertentu, maka peristiwa hijrah dapat menginspirasi kita menemukan jalan keluar dari sekelumit problematika kebangsaan kini. Bangsa ini harus hijrah dari keserakahan yang menyebabkan beberapa individu terjebak pada praktik korupsi dan manipulasi. Hijrah dari arogansi kekuasaan yang menyebabkan para penguasa emoh terhadap kritik yang membangun. Hijrah dari eksklusivisme yang menyebabkan beberapa kelompok merasa dirinya yang paling benar. Hijrah dari tindakan ekploitasi alam hanya demi keuntungan ekonomi sesaat.

Hijrah yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk menemukan kembali makna keindonesiaan (reinventing Indonesia) sebagaimana yang pernah dicita-citakan oleh the founding fathers. Singkatnya hijrah dari segala yang akan menyebabkan keterpurukan atas nilai-nilai kemanusiaan.***

Rabu, 9 Januari 2008
Diambil dari tulisan Lukman Hakim, Deputy Director PSIK Universitas Paramadina

Kamis, 17 Januari 2008

Yuuk kita merenung sejenak...

TELAPAK TANGAN...

Di setiap tangan tergurat garis
Garis yang dikaitkan nasib
Nasib yang ditentukan oleh Pencipta

Telapak tangan...
Berkulit kasar nan tebal
Mengisyaratkan akan perannya yang berat
Dia, tak pernah cemburu
dengan kulit lain yang halus dan berbulu

subhanallah, coba seandainya kulit telapak teksturnya sama dengan yang lain?
Pasti akan mudah terluka bukan!

Lantas, sudah bersyukurkah kita?
Sudahkah kita bersujud kepada-Nya?
Mari kita tanya diri, hati,
dan pikiran kita semua...


BUMI KITA
Pernahkah kita berfikir bahwa bumi ini bundar?
Pernahkah juga berfikir bahwa bumi ini berputar?
Tetapi kita koq tidak tergelincir yaaa, koq bisa sih?
Karena bumi berputar kencang dan memiliki grafitasi

Bumi, banyak memberi manfaat bagi kehidupan kita
Kita makan makanan yang berasal dari tumbuhan
Meminum air dari sumber air di dalam perut bumi
Tetapi kenapa koq ada kekeringan, banjir, gempa dll?
Apakah itu pertanda bumi sudah tidak bersahabat lagi?

Kenapa yaa? Karena kita sendiri yang suka semena-mena memperlakukan bumi kita demi kepentingan pribadi
Hutan kita gunduli, buang sampah di selokan, di sembarang tempat, di sungai, di laut. Karang-karang kita rusak, semua ingin menggunakan kendaraan bermesin, cerobong pabrik mengepul terus, itulah sebabnya iklim tak menentu... bumi kita telah mengalami PEMANASAN GLOBAL !!!

- Nalar Kreasindo –


Rabu, 16 Januari 2008

Undangan Allah untuk memerdekakan manusia

Kenapa ketika kita datang dalam sebuah undangan acara malam isra’ mi’raj atau malam gema maulid nabi saw atau undangan pernikahan kita terasa tenang tanpa ragu sedikitpun dan percaya bahwa kita akan mendapatkan tempat duduk, makanan, kue, minuman dsb. sesampainya kita di tempat/lokasi undangan/walimah?

Itu karena kita percaya kepada panitia yang mengundang kita, bahwa kita datang tidak perlu membawa apa-apa, lenggang saja sudah cukup, sebab sesampainya kita di tempat walimah tersebut, kita akan mendapatkan tempat duduk meskipun sekedar tikar, kita akan diberikan makanan, minuman, kue meskipun ala kadarnya, tetapi kita sudah percaya kepada panitia acara. Sekali lagi, karena kita percaya bahwa panitia akan menyediakan hal-hal tersebut tanpa kita minta.

Lha, begitu juga dengan kita hidup di dunia ini. Kita hidup di dunia ini adalah undangan Allah swt, Tuhan semesta alam ini. Tanpa perkenan Allah untuk kita hadir di dunia ini niscaya kita tidak akan pernah merasakan kehidupan dunia ini. Tetapi, anehnya kenapa kita seringkali tidak percaya kepada yang mengundang kita untuk hidup di dunia ini? tidak percaya kepada Allah swt. yang mengundang kita hidup? Padahal Allah lah yang mengundang kita, bukan mau kita untuk hidup di dunia ini. Kenapa misalnya, kita seringkali was-was, khawatir, sedih, bingung, susah, gelisah, takut tidak bisa makan esok hari, takut dengan masa depan -yang masih diarahasiakan oleh Allah swt.- untuk menjalani hidup ini, padahal sekali lagi yang mengundang kita hidup di dunia ini adalah Beliau, Allah swt., bukan selainNya.

Nah, jika dianalogikan dengan perumpamaan kita hadir dalam sebuah undangan tersebut diatas, maka seharusnya kita percaya pula kepada Allah yang mengundang kita untuk hidup di dunia ini, bukan begitu? Padahal kita seringkali mengaku beriman yang artinya percaya kepada Allah swt. Namun seringkali pula kita lupa bahwa kita hidup di dunia ini adalah bukan kehendak kita, tetapi kehendak Allah swt., atas undangan Allah swt.

Apa tujuan Allah mengundang kita ke dunia ini? Tidak lain adalah untuk memberikan derajat tinggi kepada kita, sebab dengan kita hidup sebagai manusia di muka bumi ini, berarti kita telah dijadikan kepercayaan Tuhan untuk mengemban amanat sebagai khalifah Allah swt. Itu adalah derajat mulia sebab Allah tidak memilih makhluknya yang lain, semisal Malaikat yang selalu sujud kepadaNya, atau Jin atau makhluk yang lain. Tetai kita, manusia sebagai khalifatullah fi al ardl.

Yang kedua adalah untuk memerdekakan kita, yakni memerdekakan kita dari segala bentuk kegelapan, kekejian, kemusyrikan, kejahatan dsb. Memerdekakan kita dari segala ketergantungan dan hanya kepada Allah kita bergantung, merdeka dari kegelapan dunia rahim dan memberikan kita kenikmatan dalam melihat pemandangan dunia yang begitu indah nan menawan, memerdekakan kita dari kekafiran menuju ikatan kukuh dengan Dia Yang Maha atas segala maha, yakni Allah swt. Kita hidup di dunia ini adalah kehendaknya, maka tidak ada alasan untuk takut mengarungi bahtera kehidupan di dunia ini. Sebab Allah-lah yang menjamin hidup kita, yakinilah, yakinilah, yakinilah. Jika tidak, maka ketidakyakinan itu akan menjadi hantu siang-malam dalam hidup kita. [Tulisan ini diinspirasi dari kalam hikmah Lukamanul Hakim-Sufiolog Ciganjur]

- wallahu a’lam bisshawab -

[Muhib-Mu]