NALAR BRILLIANT

Bagaimana alam bekerja tidak sia-sia: Darimana datangnya semua tata-tertib dan keindahan yang kita lihat di dunia? Tidakkah tampak dari gejala-gejala tersebut bahwa ada suatu Diri yang tak tampak, tapi hidup cerdas hadir di segala tempat, yang bersifat tak terbatas dalam ruang (isaac newton)

Foto Saya
Nama:
Lokasi: jakarta, jakarta, Indonesia

Mengenal diri adalah salah satu jalan mengenal TUHAN, jika ANDA mengenal saya, pasti TUHAN juga mengenal ANDA

Jumat, 18 Januari 2008

Resolusi 1 Muharram 1429 H

Tanggal 1 Muharram diperingati umat Islam sebagai Tahun Baru. Tapi 1 Muharram tidak hanya sebagai pergantian tahun, melainkan menjadi pertanda atas peristiwa besar yang paling menentukan arah sejarah peradaban Islam: hijrahnya Nabi Muhammad dan para pengikutnya dari Mekkah ke Madinah. Peristiwa hijrah memiliki makna yang signifikan bagi umat Islam.

Peristiwa itu sarat dengan pertanda bagi lahirnya etos untuk membumikan pesan-pesan spiritualitas menuju pembebasan kemanusiaan. Karenanya ketika Nabi Muhammad tidak mendapatkan lahan subur pada periode dakwahnya di Mekkah, ia membutuhkan ranah baru yang cukup subur untuk menyebar benih-benih pembebasan itu. Dengan demikian hijrah di dalam Islam dianggap sebagai simbol dari kelangsungan persemaian cita-cita profetik untuk mewujudkan pengakuan atas harkat kemanusiaan.

Hijrah memiliki makna spiritual dan misi kemanusiaan sekaligus. Keduanya sering disebutkan dalam al-Qur'an secara beriringan. Secara sederhana makna spiritual dan misi kemanusiaannya adalah upaya untuk membangun peradaban yang lebih luhur demi membebaskan manusia dari segala bentuk penindasan. Dalam konteks itulah Nabi Luth, Ibrahim, Musa dan lain sebagainya melakukan hijrah. Dengan demikian, hijrah mestinya dimaknai sebagai pertanda kebangkitan moralitas-spiritual umat manusia.

Meminjam istilah Muhammad Iqbal, hijrah dalam pengertian sesungguhnya dapat dianggap sebagai suatu proses pembebasan untuk mengekspresikan universalitas Islam dari dominasi yang mungkin akan memasung lahirnya kreativitas peradaban Islam. Dalam pengertian itu hijrah tidak melulu berkonotasi migrasi fisik. Pesan moral yang terkandung di dalamnya adalah upaya untuk mewujudkan komunitas etis-spiritual yang mengandung visi pembebasan dan ketundukan atas nilai-nilai etis-spiritual. Hijrah, dengan begitu dimaknai sebagai jalan keluar dari kondisi ketidakadilan sosial untuk pergi menuju "tanah yang dijanjikan", tanah yang subur untuk menyemai benih-benih kemanusiaan dan keadilan.

Tanah yang dijanjikan dalam hijrah, secara normatif, tidak melulu merujuk pada sebuah tempat tertentu. Tapi sebuah kondisi di mana umat Islam mampu menemukan makna otonominya sebagai makhluk Tuhan yang merdeka dan mampu keluar dari cengkeraman otoriterianisme. Dalam pengertian itu hijrah mengandung pengertian yang sangat utopis, namun justru memberikan kelonggaran bagi umat Islam untuk terus memberikan makna baru dalam setiap ruang-waktu yang didiaminya.

Dalam bentuk yang paling sederhana, hijrah dapat direalisasikan ke dalam bentuk aktivitas konkret pembebasan diri dan umat dari kondisi yang sarat dengan ketidakadilan, kemiskinan dan kebodohan yang dapat menjadi ancaman serius terhadap kelangsungan kemanusiaan. Proyek itu dapat diagendakan dalam berbagai kegiatan yang muaranya adalah pembebasan dari segala bentuk yang akan memasung kebebasan dan menciptakan kenestapaan manusia.

Selain itu juga dibutuhkan rekayasa sosial yang sistematis diserta kerja sama dari berbagai kelompok sosial yang terintegrasi secara baik. Selain itu, dalam beberapa ayat al-Qur'an kata hijrah disebutkan secara berbarengan dengan jihad. Ini disebutkan antara lain dalam al-Baqarah (2): 218 dan al-Tawbah (9): 20. Kedekatan makna hijrah dan jihad yang disebutkan dalam kedua ayat tersebut adalah dalam hijrah dibutuhkan sebuah tekad baja dan kesungguhan hati untuk keluar dari kondisi yang tidak bebas. Tekad baja dan kesungguhan hati secara normatif dimaknai sebagai bentuk jihad. Jadi, dalam pengertian ini, tidak ada peristiwa hijrah tanpa jihad.

Selain itu, di antara makna hijrah dan jihad terkandung semangat pengorbanan-harta, kalau perlu dengan nyawa- untuk pembangunan sebuah cita-cita luhur pembebasan manusia. Hal ini tercermin dalam perjalanan hijrah Nabi beserta sahabatnya, yang rela meninggalkan keluarga, kelompok, dan kekayaan untuk bergabung dengan komunitas yang lebih memberikan jaminan akan kelangsungan kebebasan kemanusiaan. Dengan demikian, gerakan pembebasan tersebut mestinya sepi dari pamrih yang bersifat keduniaan (ikhlas): hanya mengharap ridla Tuhan.

Jika merujuk pada peristiwa hijrah Nabi-dari Mekkah ke Madinah-tidaklah berlebihan jika ada statemen yang menyebutkan bahwa peristiwa tersebut mengandung konotasi politis. Hal ini setidaknya dapat digambarkan bahwa hijrah juga dapat dikonotasikan sebagai pencarian suaka ke suatu wilayah yang dapat menjanjikan keselamatan kini atau pun di masa yang akan datang. Para sufi lebih memaknai hijrah sebagai proses perpindahan batin dari gelap menuju terang, dari jalan eksoterisme menuju esoterisme. Dan, bagi para sufi, ranah itu sesungguhnya berada di hati. Singkatnya hijrah adalah jalan panjang untuk meniti pintu-pintu menuju Tuhan.

Bagi bangsa Indonesia, kiranya makna hijrah selalu relevan untuk dikontekstualisasikan, terutama dalam menghadapi kondisi keterpurukan. Pengalaman hijrah Muhammad mengajarkan betapa diperlukan kerelaan hati, keteguhan jiwa, kesabaran untuk menderita, dan konsistensi atas nilai-nilai luhur yang dipercayai dapat membawa bangsa ini ke gerbang masa depan yang lebih baik.

Untuk mengatasi keterpurukan itu, daripada melulu menyalahkan alam yang mulai tidak bersahabat, atau menyalahkan kelompok tertentu, maka peristiwa hijrah dapat menginspirasi kita menemukan jalan keluar dari sekelumit problematika kebangsaan kini. Bangsa ini harus hijrah dari keserakahan yang menyebabkan beberapa individu terjebak pada praktik korupsi dan manipulasi. Hijrah dari arogansi kekuasaan yang menyebabkan para penguasa emoh terhadap kritik yang membangun. Hijrah dari eksklusivisme yang menyebabkan beberapa kelompok merasa dirinya yang paling benar. Hijrah dari tindakan ekploitasi alam hanya demi keuntungan ekonomi sesaat.

Hijrah yang dimaksud adalah sebuah upaya untuk menemukan kembali makna keindonesiaan (reinventing Indonesia) sebagaimana yang pernah dicita-citakan oleh the founding fathers. Singkatnya hijrah dari segala yang akan menyebabkan keterpurukan atas nilai-nilai kemanusiaan.***

Rabu, 9 Januari 2008
Diambil dari tulisan Lukman Hakim, Deputy Director PSIK Universitas Paramadina

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda