NALAR BRILLIANT

Bagaimana alam bekerja tidak sia-sia: Darimana datangnya semua tata-tertib dan keindahan yang kita lihat di dunia? Tidakkah tampak dari gejala-gejala tersebut bahwa ada suatu Diri yang tak tampak, tapi hidup cerdas hadir di segala tempat, yang bersifat tak terbatas dalam ruang (isaac newton)

Foto Saya
Nama:
Lokasi: jakarta, jakarta, Indonesia

Mengenal diri adalah salah satu jalan mengenal TUHAN, jika ANDA mengenal saya, pasti TUHAN juga mengenal ANDA

Senin, 22 September 2008

DARI “MUDIK SOSIAL” MENUJU “MUDIK SPIRITUAL”

Oleh Muhibuddin Alawy

Fenomena mudik atau pulang kampung bagi masyarakat muslim menjelang hari raya Idul Fitri dan juga Idul Adha di Indonesia adalah suatu tradisi yang sangat unik dan banyak menyedot perhatian banyak kalangan, baik oleh pemerintah, pengusaha, bahkan media massa yang memberikan porsi pemberitaan yang khusus selama musim mudik ini berlansung. Bahkan banyak pula partai politik yang berlomba-lomba untuk memberikan fasilitas transportasi dengan tema ‘mudik bersama’ untuk menarik simpati masyarakat.

Sebagaimana tradisi-tradisi lainnya yang berkembang subur di masyarakat, mudik telah dianggap ritual yang wajib dijalani oleh mayoritas masyarakat perkotaan untuk kembali ke kampung halaman bertemu dan berbagi kasih dengan orang tua, keluarga dan sanak saudara, bersilaturrahim dengan masyarakat kampung halaman yang telah membesarkannya dahulu, dan yang utama adalah untuk mendapatkan kebebasan dosa dengan saling bermaaf-maafan (wal ‘afiina aninnas).

Secara sosiologis, mudik dapat difahami sebagai fenomena sosial dimana masyarakat merelakan dirinya untuk bersusah payah berbondong-bondong dalam kemacetan, berdahaga dan lelah dalam perjalanan nun jauh, berdesak-desakan dalam gerbong kereta, membelanjakan sejumlah harta untuk berbagi dengan sesama. Semua itu digerakkan oleh rasa kangen dan rindu akan kasih orang tua terutama ibu, rindu akan kedamaian bersama dan berkumpul dengan keluarga, saling berbagi dengan sanak saudara, dan bertemu dengan handai taulan yang telah lama tidak bertemu. Semua fakta sosial yang berbalut oleh kondisi kejiwaan ini dapatlah dimaknai sebagai fenomena sosio-psikologis, dimana ada dorongan-dorongan psikologis yang ‘mewajibkan’ seseorang untuk menjalani ritual mudik tersebut dengan apapun resiko yang dihadapinya. Sebab fakta mengatakan bahwa di saat mudik-lah angka statistik kecelakaan lalulintas meningkat dibanding dengan di saat hari-hari biasanya.

Secara ekonomis, mudik juga mempengaruhi pertumbuhan ekonomi daerah akibat dinamika peredaran uang yang cukup massif di daerah. uang yang semula sirkulasi peredarannya mayoritas di perkotaan terutama ibu kota, maka di kala mudik masyarakat akan membawa dan membelanjakannya di kampung halaman atau di daerahnya. Maka tidak heran jika di kala musim mudik, toko-toko sembako dan makanan suguhan ramai diserbu pengunjung, gerai pakaian juga ramai pembeli, itulah musim panen bagi para pemiliknya sebab kuntungan besar akan didapat.

Sesungguhnya, ada banyak nilai yang dapat digali dan dikembangkan dengan tradisi mudik sosial ini. Bahwa setiap kita semestinya tidak melupakan asal-usul kita, tempat kita berasal dan dilahirkan, sanak saudara yang masih terikat darah dengan kita, serta masyarakat yang telah membesarkan kita. Para pemudik tidaklah menganggap masalah dengan berdesak-desakan di kendaraan, berpeluh dalam perjalanan, dan tentunya dengan ongkos yang tidak murah sebab setiap mudik harga selalu istimewa, yang semuanya itu dilakukan hanya untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi mendekap rindu yang telah lama terpendam di kalbu.

Dengan mudik, seseorang merasa menemukan kembali asal-usulnya, seakan hilang ‘haus’ dan ‘dahaga’ rindu akan belai kasih orang tua, kehangatan hubungan sanak saudara, keakraban silaturahmi dengan masyarakat sekitar. Semua rasa itu tak akan tergantikan dengan perkalian materi ataupun uang dan juga tidak dapat diwakilkan oleh siapapun. Sebab dengan menjalani ritual mudik, seseorang seakan telah me-recharge energi spiritualnya.

Oleh karena itu, untuk menjalani ritual tahunan ini, ada banyak hal yang harus dipersiapkan secara matang, sebab jika tidak dipersiapkan dengan baik maka bisa jadi akan ada banyak halangan dan ketidaknyamanan dalam perjalanan mudik yang akan dihadapi, karena perjalanan mudik secara massif terjadi di hari-hari akhir menjelang hari H, maka sudah dapat dipastikan kepadatan arus lalulintas yang dapat mengakibatkan kemacetan panjang di jalan-jalan yang merupakan jalur utama mudik. Nah, jika kurang persiapan maka mudik bagi yang kurang mempersiapkan diri dengan baik itu hanya akan menghasilkan ketidaknyamanan, kesulitan, dan tentu ketidakbahagiaan dalam perjalanan pulang kampung.

Persiapan Bekal Mudik
Berikut adalah beberapa hal yang setidak-tidaknya patut dipersiapkan oleh siapapun yang ingin menjalani ritual mudik ini, antara lain; pertama, kesehatan badan dengan stamina yang fit dan prima. Kondisi kesehatan yang prima sangatlah dibutuhkan oleh para pemudik karena perjalanan yang akan ditempuhnya jauh dan melelahkan, ditambah lagi dengan padatnya arus lalulintas yang sering mengakibatkan stres dan pegal-pegal.
Kedua, kesiapan ongkos dan biaya selama mudik. Ongkos transportasi dikala mudik biasanya agak mahal jika dibandingkan dengan hari-hari biasa, sebab ada istilah ‘tuslah’ dan berbagai macam dalih bagi perusahaan transportasi untuk menaikkan ongkos transportasi bila perlu dua kali lipat harga normal. Biaya selama mudik juga biasanya harus dipersiapkan secara ekstra, sebab harga semua barang kebutuhan pokok naik menjadi sangat istimewa.
Ketiga, oleh-oleh untuk orang tua, keluarga/kerabat. Hal yang terakhir ini meskipun tidak ‘wajib’ tetapi dengan oleh-oleh, keluarga atau kerabat akan merasa dihargai dan diperhatikan meskipun sekedar berupa makanan atau sesuatu yang harganya tidak seberapa, tetapi efek psikologisnya sangatlah terasa dalam mengokohkan ikatan tali persaudaraan dan menghangatkan silaturahmi.

Menuju “Mudik Spiritual”

Dari fenomena mudik secara sosial tersebut diatas, sebenarnya dapat ditarik ‘ibrah’ atau relevansinya dalam konteks ‘mudik spiritual’ menuju Allah swt, Sang Khaliq. Kesadaran ‘mudik spiritual’ seyogyanya menjadi kesadaran umum (common sense) masyarakat muslim Indonesia dengan pemaknaan dan pentakwilan seluas-luasnya. ‘Mudik spiritual’ dapat dimaknai sebagai ‘pulang kembali’ kepada Allah swt dengan meninggalkan segala hal yang dilarangNya, serta menjalankan segala hal yang diperintahkanNya (al-amru bi al-ma’ruf wa al-nahyu ani al-munkar). Allah swt adalah sumber kehidupan dan tempat kembalinya kehidupan. Allah swt adalah asal-muasal kehidupan dan makhluq hidup serta kepadaNya semua bergantung dan akan kembali. Allah swt haruslah menjadi ‘pelita’ yang menuntun dan menerangi jalan terjal hidup setiap manusia, bahwa semua -yang sementara dianggap baik dan buruk- adalah bersumber dari Allah swt.

‘Mudik spiritual’ adalah ‘titik balik’ kesadaran manusia beriman dikala merasa jauh dari Khaliqnya, dikala terlelap dalam nestapa dan terperosok dalam kubangan dosa. Ketika kehidupan seseorang telah terbelenggu oleh keindahan dan kemegahan dunia, dikala segala daya dan upaya hanya terfokus untuk mencari dan mengumpulkan harta kekayaan dengan mengabaikan kewajiban ilahiyah (huququllah) dan insaniyah (huququnnas), maka perlahan-lahan ia secara tidak sadar telah menjauhkan dirinya dari orbit kehidupan, pelan-pelan ia telah menarik dan mengurung diri dalam bilik kegelapan, tarikan nafasnya hanya berbau ‘alkohol dan anggur’ yang memabukkan dan membuatnya lupa siapa dirinya yang sebenarnya, ia lupa darimana berasal dan harus kemana menuju, sebab baginya tumpukan harta di kehidupan dunia ini akan mengekalkannya, tidak akan ada akhir kehidupan (no end of the life) dan semuanya dapat dipermudah dengan harta, semua hal bisa diatur dengan kuasa harta.

‘Mudik spiritual’ adalah momentum manusia Indonesia untuk hijrah dari ‘kemiskinan spiritual’ menuju ‘kekayaan bathin’ yang berlimpah hikmah, hati yang selalu diterangi oleh ‘nurul anwar’ (cahaya di atas cahaya) yang tidak pernah padam yang memancar tidak hanya ‘ke dalam’ sebagai pelita penunutun kebajikan bagi yang memilikinya, tetapi memancar ‘ke luar’ sebagai obor yang mampu menerangi masyarakat di sekitarnya agar mereka mampu menanam kebaikan-kebaikan yang berguna sebagai investasi di kehidupan akhiratnya kelak.

‘Mudik spiritual’ merupakan tonggak kebangkitan kesadaran manusia untuk menyadari dan menemukan kembali (reinvinting) jatidirinya yang telah lama terkubur dalam lumpur hawa nafsu. Jatidiri sebagai makhluq, jatidiri sebagai manusia yang lemah dan tak berdaya dihadapan mahkamah Sang Khaliq. Kebangkitan kesadaran untuk memulihkan hati yang telah terluka karena telah berpaling lama dan tersayat oleh sembilu dosa. Ia harus bangkit dan sadar bahwa ia hanyalah manusia yang harus bersujud menguntai rasaya syukur dan bertasbih menyucikan nama-nama Allah dan tidak pula menyekutukannya. Jatidiri harus ditemukan kembali dan dibersihkan agar menjadi suci untuk bertemu Allah swt. di perjamuan agungNya.

Dengan diktum ‘mudik sosial’ di akhir ramadhan ini, bangsa Indonesia haruslah juga melakukan ‘mudik spiritual’ untuk tidak korupsi, mencuri kekayaan negara, mencuri hak rakyat, dan memeperrendah harga diri bangsa. ‘Mudik spiritual’ untuk tidak membabat hutan dan menjarah kekayaan bumi di dalamnya. ‘Mudik spiritual’ untuk tidak mencemari lingkungan dan mencegah pemanasan global. ‘Mudik spiritual’ dengan menjaga diri untuk tidak berbuat aniaya meskipun dengan kata-kata kepada sesama. ‘Mudik spiritual’ adalah buah puasa yang mengajarkan manusia untuk hanya tunduk dan patuh kepada Tuhannya, hadiah pembelajaran ramadhan yang mengajarkan manusia untuk sabar menahan diri dari segala yang asusila sehingga ia menjadi manusia yang benar-benar bertaqwa (la’allakum tattaquun).

Sebagaimana pula ‘mudik sosial’, dalam ‘mudik spiritual’ setiap kita juga harus mempersiapkan diri dengan berbagai bekal, bekal menuju Allah swt. Hati, jiwa dan raga harus ‘dicuci bersih’ dari noda dan kotoran dosa. Hati, jiwa dan raga harus ditaburi minyak yang wangi nan menggairahkan bagi yang mencium baunya. Setiap kita juga harus sehat secara rohani dan sehat secara hakiki. Dalam ‘mudik spiritual’ setiap kita juga harus membekali diri dengan pahala, sahadaqah, amal kebajikan, ilmu yang bermanfaat dan investasi generasi yang berguna bagi umatnya.

Dalam ‘mudik spiritual’ setiap kita juga harus mempersembahkan oleh-oleh kepada Sang Khaliq berupa diri yang sudah suci, diri yang hanya menempel di dalam diri itu kebaikan-kebaikan yang telah dilakukan secara tulus dan ikhlas lii thalabi mardlatillah, oleh-oleh yang berupa sumpah satya bhakti dengan dua kalimat syahadah dan kalimat thayyibah, yang berupa shalat wajib dan shalat malam, yang berupa sedekah yang diikhlaskan, yang berupa puasa dengan menahan amarah dan dahaga, dan yang berupa haji yang dimabrurkan.

Dengan ‘mudik spiritual’ semoga kita, bangsa Indonesia akan menjadi manusia-manusia baru yang baru dilahirkan dari tempahan ramadhan, manusia yang telah kembali fitri dan siap ’menjemput impian’ bertemu dengan Rabbnya, manusia yang penuh dengan kerinduan untuk bertemu (ilqa’) dan menyatu (wihdatul wujud) dengan Sang Kekasih, rabbul izzati wal jalal . Menjadi sosok manusia paripurna (al-insan al-kamil). [mhb]


-Wallahu a’lam bisshawab-

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda