NALAR BRILLIANT

Bagaimana alam bekerja tidak sia-sia: Darimana datangnya semua tata-tertib dan keindahan yang kita lihat di dunia? Tidakkah tampak dari gejala-gejala tersebut bahwa ada suatu Diri yang tak tampak, tapi hidup cerdas hadir di segala tempat, yang bersifat tak terbatas dalam ruang (isaac newton)

Foto Saya
Nama:
Lokasi: jakarta, jakarta, Indonesia

Mengenal diri adalah salah satu jalan mengenal TUHAN, jika ANDA mengenal saya, pasti TUHAN juga mengenal ANDA

Jumat, 01 Februari 2008

Poligami Menurut Muhammad Syahrur

Pendahuluan

Poligami akhir-akhir ini menjadi isu sensitif terutama bagi (di) kalangan perempuan. Jika di-polling mungkin sebagaian besar perempuan menolak poligami, tetapi kita tidak boleh menutup mata bahwa hal tersebut diperaktekkan oleh sebagian orang (untuk tidak mengatakan banyak) di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Bahkan, di Betawi ada tradisi Lurah ‘harus’ memiliki isteri lebih dari satu jika ingin memiliki wibawa yang tinggi, atau sebagian kyai juga mempraktekkan hal tersebut dengan beberapa macam alasan, baik yang ‘naqli’ maupun ‘aqli’.

Kita pada penghujung tahun 2007 lalu dikejutkan dengan seseorang yang bernama M. Insa yang mengajukan peninjauan ulang terhadap UU perkawinan tahun 1974. Poligami bagi Fatayat NU dianggap sebagai pintu masuk menuju kekerasan terhadap perempuan dalam keluarga dan poligami adalah konsep laki-laki untuk memenangkan egonya. Maka dengan keras Poligami ditentang dan demonstrasi anti-poligami sering digelar. Tetapi lantas apakah dengan penolakan keras saja bisa menyelesaikan masalah sosial, sebab motif praktek poligami sangatlah variatif, dan bukan semata-mata egoisme laki-laki untuk melakukan kekerasan terhadap perempuan. Bisa jadi bagi sebagaian orang yang memperaktekkannya, poligami adalah ‘jalan’ atau ‘cara’ untuk melakukan kesalehan sosial atau mengangkat harkat dan martabat kemanusiaan dari lembah kemiskinan, dan ini tentunya dengan prasyarat-prasyarat yang sangat berat. Jika demikian, apakah lantas tetap dihukumi ‘haram mutlaq’?

Bertitik tolak dari perdebatan itulah, Muhammad Syahrur ingin memberikan alternatif diskursif yang mungkin dapat menjembatani perdebatan ‘ekstrem’ antara yang mengharamkan dan yang menghalalkan. Tulisan ini bukan sama sekali Penulis maksudkan untuk membela pihak manapun tetapi hanya untuk ikut memberikan sudut pandang yang lain dengan pertimbangan-pertimbangan dan tafsir-tafsir yang lain pula.

Biografi Singkat

Muhammad Syahrur bin Da’ib lahir 11 April 1938 di Damaskus Syiria. Pendidikan dasar dijalaninya di daerah kelahirannya yaitu Damaskus, tepatnya di Madrasah Abdur Rahman al-Kawakibi. Pada tahun 1957, ia memperoleh Ijazah Tsanawiyah, lalu Maret 1958 dengan beasiswa dari pemerintah Syiria ia pergi ke Uni Soviet untuk belajar Teknik Sipil di Moskow. Pada Tahun 1964 ia menyelesaikan diplomanya dan kembali ke Syiria untuk mengabdi di Universitas Damaskus tahun 1965. Lalu, pada tahun 1967 ia melakukan riset di Imperial College Inggris, namun tidak lama sebab ada konflik diplomatik antara Syiria dengan Israel dan Universitas Damaskus mengirimnya ke Irlandia untuk mengambil program Magister dan Doktoral di bidang Teknik Sipil konsentrasi Mekanika Tanah dan Dasar Bumi di Universitas Nasional Irlandia hingga selesai Doktoral tahun 1972.

Setelah lulus Doktoral ia pun kembali ke almamaternya dan diangkat menjadi dosen sekaligus dekan di Fakultas Teknik Sipil hingga sekarang. Selain mendalami Teknik Sipil ia juga mendalami ilmu Falsafah, Fiqh, Lughoh, dan ilmu Linguistik. Selain menguasai bahasa Syiria, ia juga menguasai bahasa Rusia, Arab, dan Inggris. Banyak sekali karya-karyanya, selain tentang teknik ia pun banayk menulis tentang isu-isu keislaman kontemporer, seperti; al-Kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Muashirah (yang paling kontroversial); Dirasat Islamiyah Muashirah fi Daulah wa al-Mujtama’; al-Islam manzumat al-Qiyam; dan Masyru’ al-Mitsaq al-amal al-Islami.
Yang berbeda dengan para pemikir Arab sezamannya yang mayoritas menggunakan pendekatan kritik nash atau hermeneutika, Syahrur menggunakan pendekatan teori batas (nadlariyat al-hudud) dalam setiap kajiannya terutama dalam al-kitab wa al-Qur’an; Qira’ah Muashirah, begitu juga dalam membahas poligami secara khusus di dalamnya.

Poligami Menurut Muhammad Syahrur
Persoalan poligami lebih khusus merupakan persoalan perempuan karena di dalamnya menyangkut hak-hak perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki dalam sebuah perjanjian perkawinan. Sehingga tidak heran, jika kemudian para islamisis Barat memandang bahwa adanya justifikasi terhadap praktek poligami dalam Islam, membuktikan bahwa Islam sangat mengabaikan konsep demokrasi dan hak asasi manusia dalam kehidupan rumah tangga. Poligami yang diatur oleh Islam menurut mereka adalah sebentuk diskriminasi dan marginalisasi terhadap perempuan.[1]

Persoalan Poligami merupakan persoalan penting dihadapi perempuan dan termasuk persoalan Islam sendiri di hadapan dunia secara umum. Karena ia sangat berkaitan dengan hak asasi yang saat ini sedang marak dibicarakan. Oleh karena itu agar konsep yang dimiliki Islam tentang poligami ini dapat disesuaikan dengan gerak sejarah, maka yang harus pertama kali dipahami menurut Syahrur adalah bahwa ayat-ayat yang berbicara tentang poligami yang ada dalam umm al-Kitab adalah ayat-ayat hududiyah.[2] Dalam artian, ayat-ayat tentang poligami tersebut adalah batasan-batasan yang ditentukan Allah agar manusia dapat menetapkan hukum-hukum seputar poligami sesuai gerak masa tanpa harus melampui batasan yang telah ditentukan Allah tersebut.

Adapun ayat yang dicatat Syahrur sebagai ayat hududiyah tentang poligami adalah surat an-Nisa’ ayat 3 yaitu :
وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع فإن خفتم ألا تعدلوا فواحدة أو ما ملكت أيمانكم ذلك أدنى ألا تعولوا

Dari ayat tersebut Syahrur menganalisa dua kata kunci yaitu kata (قسط) dan kata (عدل). Kata qasatha dalam bahasa Arab menurut Syahrur mengandung dua makna yang saling bertolak belakang. Pertama bermakna al-adlu wa al-musa’adah (berlaku adil dan memberi pertolongan) seperti dalam Q.S. al-Maidah (5): 42. Kedua bermakna az-zulmu wa al-jûr (berbuat aniaya dan berbuat tidak adil) sebagaimana disebut dalam surat al-Jin (72): 14. Kata ‘adala juga memiliki dua makna yang saling bertentangan, makna yang pertama adalah berbuat lurus (istiwâ’) dan kedua berbuat menyimpang (a’wajaj). Dan dalam membedakan kedua kata qasatha dan ‘adala ini, Syahrur menjelaskan bahwa kata qasatha berarti perbuatan kepada satu pihak, sedangkan ‘adala bermakna perbuatan kepada dua pihak yang berbeda.

Dalam penjelasannya, Syahrur menerangkan ayat ke tiga surat an-Nisa’ tersebut di-athaf-kan kepada ayat ke dua surat an-Nisa’ yang berbicara tentang hak-hak anak yatim yang bagi Syahrur merupakan latar belakang bagi ayat ke tiganya.[3] Ayat ke dua surat an-Nisa’ tersebut berbunyi:
وءاتوا اليتامى أموالهم ولا تتبدلوا الخبيث بالطيب ولا تأكلوا أموالهم إلى أموالكم إنه كان حوبا كبيرا

Dalam memahami anak yatim yang dimaksud dalam ayat tersebut dijelaskan Syahrur sebagai anak yang ditinggal mati oleh ayahnya serta belum mencapai usia dewasa. Dengan demikian yang menanggung anak-anak yatim tersebut adalah ibunya –janda-janda yang usianya masih relatif muda.[4]

Dalam persoalan poligami ini, secara prinsipil Syahrur membaginya kedalam dua bagian, antara lain yaitu :

a. Batasan Kuantitatif
Penjelasannya adalah bahwa ayat ke tiga surat an-Nisa’ secara umum berbicara tentang sebuah aturan perkawinan yang mengatur seorang laki-laki yang beristri lebih dari satu istri. Aturan-aturan tersebut terapresiasikan dalam bentuk jumlah istri yang dibatasi minimal satu dan maksimal empat istri. Kerena bagi Syahrur seorang laki-laki tidak mungkin menikahi dirinya sendiri atau menikahi separuh atau seperempat perempuan. Begitu juga laki-laki tidak diperbolehkan menikahi perempuan lebih dari empat, karena akan melanggar batas yang ditentukan oleh Allah.[5] Sedangkan ruang gerak yang bisa diambil di antara dua batas ini adalah menikahi dua orang sampai empat orang perempuan. Dan kemungkinan jumlah yang diberlakukan dan ditetapkan menyesuaikan ruang gerak sejarah, tanpa melampau batas yang sudah ditentukan. Adapun suatu saat poligami perlu untuk dilarang, maka berarti pelarangan itu masih berada dalam batas yang ditetapkan Allah yaitu satu perempuan. Batasan-batasan yang mengatur jumlah perempuan yang dikawini inilah yang disebut batasan kuantitatif.

b. Batasan Kualitatif
Batasan kualitatif yang dimaksudkan Syahrur adalah apakah perempuan yang dinikahi itu seorang gadis ataukah janda. Dan jika ia janda karena ditinggal mati suaminya (armalah) ataukah janda karena diceraikan suaminya (muthallaqah). Batasan kualitatif seperti itu menurut Syahrur tersirat dalam bentuk ayat ke tiga surat an-Nisa’ yang berupa keterkaitan kalimat syarat (وإن خفتم ألا تقسطوا في اليتامى) dengan bentuk jawabnya (فانكحوا ما طاب لكم من النساء مثنى وثلاث ورباع). Dalam ayat tersebut, disebutkan dua hal yang berbeda, yaitu berbuat adil terhadap anak yatim dan berpoligami. Namun keterkaitan dua hal yang berbeda tersebut menjadi sebuah prasyarat agar ayat ini bisa dipahami. Ayat ini juga tidak berdiri sendiri, melainkan bersambung dengan ayat sebelumnya.

Dalam jawab syarat tersebut tidak disebutkan jumlah minimalnya yaitu satu orang perempuan, melainkan langsung dimulai dengan kata matsna (dua-dua). Logika ayat tersebut menurut Syahrur mengatakan bahwa istri pertama tidak terkena batasan kualitatif, dalam artian ia boleh gadis, janda karena ditinggal mati suaminya (armalah), ataupun karena cerai (muthallaqah). Dengan begitu, apabila jawab syarat ini dihubungkan dengan syaratnya yaitu berlaku adil (iqsât) terhadap anak yatim, maka dapat disimpulkan bahwa jawab syarat dalam ayat tersebut berbicara tentang ibu-ibu dari anak yatim yang sudah barang tentu adalah perempuan-perempuan janda karena ditinggal mati oleh suaminya (armalah) dan menanggung anak-anak yatim. Jadi bukanlah perempuan janda karena dicerai suaminya.

Dengan demikian, batasan kuantitatif menikahi perempuan, boleh dari satu sampai empat orang. Sedangkan batasan kualitatifnya ditetapkan hanya bagi istri ke dua dan seterusnya yaitu haruslah seorang janda yang ditinggal mati suaminya dan ia mempunyai anak-anak yatim dalam tanggungannya. Jadi perempuan yang boleh dipoligami menurut Syahrur adalah perempuan dengan keadaan seperti di atas. Seorang suami dapat menjadikan mereka istri beserta mengambil anak-anak mereka sebagai anak-anaknya sendiri dan tidak diperbolehkan menikahi janda tersebut tanpa mengambil anak-anaknya.[6]

Dengan menikahi janda-janda yang memiliki anak-anak yatim, berarti seorang suami menyatukan pengasuhan dan pendidikan anak-anak yatim tersebut dengan pengasuhan dan pendidikan anak-anaknya sendiri. Maka dari itu suami tersebut menikahi seperti disinggung dalam ayat ini :
وابتلوا اليتامى حتى إذا بلغوا النكاح فإن ءانستم منهم رشدا فادفعوا إليهم أموالهم ولا تأكلوها إسرافا وبدارا أن يكبروا ومن كان غنيا فليستعفف ومن كان فقيرا فليأكل بالمعروف فإذا دفعتم إليهم أموالهم فأشهدوا عليهم وكفى بالله حسيبا (النساء 6:4)

Jika misalnya seorang suami menikahi tiga orang janda yang masing-masing janda itu membawa anak-anak yatim, maka tentunya si suami akan memiliki banyak keluarga dan tentunya memiliki keluarga dan tentunya mempunyai tanggungan finansial yang cukup besar. Dalam keadaan seperti ini, kalimat (فإن خفتم ألا تعدلو) ditafsirkan Syarur dengan perlakuan adil antara anak-anaknya sendiri dengan perlakuan adil dengan anak-anak yatim yang ada dalam tanggungannya (anak-anak tirinya). Dari sini bisa dilihat bagaimana Syahrur menafsirkan kata qasatha yang berarti perbuatan terhadap satu pihak dan kata ‘adala yang berarti perbuatan kepada dua pihak yang berbeda. Karena dalam ayat tersebut yang digunakan adalah kata ‘adala, maka berarti perlakuan adil yang dimaksudkan ditujukan kepada anak-anaknya sendiri dengan perlakuan anak-anak yatim yang berada dalam tanggungannya.

Selanjutnya, dalam menafsirkan kata wahidah, Syahrur mengartikan kata tersebut dengan istri kedua bukan istri yang pertama. Yang dimaksudkan adalah bahwa melihat konteks ayat tersebut yang berbicara tentang poligami, maka khitab yang tersebut adalah orang yang sudah beristri. Oleh karena itu yang dimaksud dengan kata wahidah disitu adalah istri kedua (mastnâ) yang harus janda (armalah). Dengan demikian ia tetap memiliki dua istri, istri pertama yang tak terkena batasan kualitatif dan istri kedua yang dalam ayat tersebut diistilahkan dengan wahidah yaitu janda (armalah) beranak yatim. Jadi batasan kualitatif minimal dalam ayat tersebut adalah menikahi satu orang janda sebagai istri kedua dan batas kualitatif maksimal adalah menikahi janda yang ketiga sebagai istri keempat.

Penafsiran seperti itu dapat diterjemahkan dengan: “jika seseorang mampu untuk melakukan poligami dari segi finansial, maka Allah meyemangatinya untuk mengambil minimal satu orang janda sebagai istri kedua beserta mengambil pula anak-anak yatimnya. Pemaknaan seperti itu menurut Syahrur dikuatkan oleh kalimat lanjutannya yaitu (زلك أنى ألا تمو لو ا). Kata نمو لو ا berasal dari kata ‘aul yang bermakna kasrah ‘al-‘iyal wa al-jur’ (banyak keluarga dan berlaku tidak adil). Maka ketika seorang suami memiliki banyak keluarga tentunya ia menanggung seluruh kebutuhan finansial keluarganya dan bila tidak mampu memenuhi kebutuhan ini, akhirnya ia bisa saja berbuat tidak adil terhadap anak-anaknya. Perbuatan yang seperti inilah yang dilarang oleh ketiga surat an-Nisa’tersebut.

Dari seluruh pembahasan di atas, kiranya surat an-Nisa’ ayat 3 tersebut dalam versi Syahrur dapat diterjemahkan dengan: “Kalau seandainya kamu khawatir untuk tidak bisa berbuat adil antara anak-anakmu dengan anak-anak yatim (dari istri-istri jandamu) maka jangan kamu kawini mereka. (Tapi kalau kamu bisa berbuat adil dengan memelihara anak-anak yatim mereka) maka kawinilah para janda atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu akan lebih menjaga dari perbuatan aniaya (karena tidak bisa memelihara anak yatim)”.

-Wallahu’alam bisshawab-

[1] Syafiq Hasyim, Hal-hal yang tak Terpikirkan tentang Isu-isu Keperempuan dalam Islam. Cet. I (Bandung: Mizan, 2000), h.159
[2] Lihat, al-Kitab., h. 579
[3] Bandingkan dengan Asghar Ali Enginer, Hak-hak Perempuan dalam Islam, diterjemahkan oleh Farid Wahidi dan Cici Farka as-Segaf, cet. I (Yogyakarta: LSPPS dan CUSO, 1994), h. 30
[4] Lihat Nahwa Ushul Jadidah lil Fiqh al-Islami, h. 302
[5] Lihat al-Kitâb, h. 598
[6] lihat Nahwa Ushul Jadidah lil al-Islami, h. 303

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda